Perkawinan Campuran dan Peranan KUA dalam Pencatatan Perkawinan


Sekalipun tema di atas kurang urgen untuk dibahas saat ini, tetapi kenyataan dalam masyarakat sangat membutuhkan informasi berkaitan dengan perkawinan campuran, apalagi hidup di era globalisasi sekarang ini dimana perkawian antar bangsa seolah menjadi trend masa kini. Kita wajib segera mencermati kembali aturan-aturan hukum yang berlakudi negeri kita, khususnya tentang perkawinan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi mereka yang melaksanakan perkawinan campuran, substansi bahasan dalam hal ini sebenarnya terdapat dalam bunyi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 57 dengan sedikit tambahan tentang aspek pencatatannya sebagai bukti hukum bagi perkawinan, karena itu akan dikemukakan pula peranan KUA dalam pencatatan perkawinan.
            Perkawinan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia, yang tujuannya aadalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batinnsesuai dengan bunyi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “ Peerkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria ddengan seorang wanita sbagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”

            Pembentukan keluarga dan upaya melanjutkn keturunan hanya dapat dilakukan melalui perkawinan yang sah berdasarkan Undang-undang. Konstitusi melarang pembentukan eluarga dan upaya melanjutkan keturunan di luar institusi perkawinan termasuk dalam hal ini peerkawinan campuran yaitu perkawinan antara dua orangyang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan.
            Undang-undang Perkawinan kita menghormati semua agama, maka peerkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu {UUP No. 1/1974 pasal 2 ayat (1)}. Dengan demikian tidak ada perkawinan beda agama atau antar agama yang dapat ditolerir di negeri ini. Sesuai dengan bunyi Undang-undang Dasar 1945 yang diperbaharui, terutama pasal 28B dan 28 E menyangkut kebebasan membentuk keluarga dan kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya serta keyakinannya masing-masing. Karena Undang-undang sudah menetapkan satu agama, maka sulit kiranya keluarga akan mencapai kebahagiaan hakiki jika dihuni oleh dua keyakinan yang berbeda.
            Selain itu, tiap-tiap perkawinan dicatat meurut perundang-undangan yang berlaku, demikian bunyi pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Jadi untuk sahnya suatu perkawinan selain didasarkan pada suatu hukum agama yang dipeluk olehyang bersangkutan juga harus dicatat sebagai bukti hukum adanya peristiwa nikah. Perkawinan untuk orang Islamharus mengikuti ketentuan agama Islam dan dicatat menurut ketentuan yang berlaku yaitu pada Kantor Urusan Agama Kecamatan. Begitu pula bagi mereka yang beragama non Islam dicatat pada kantor Catatan Sipil. Oleh karena itu setiap warga negara terutama yang beragama Islam hendaknya dapat mengerti dan memaklumi scara konsisten melaksanakan ketentuan teertulis ini yang pada mas sebelum terbentuknya UUP No. 1 Tahun 1974 tidak ada kecuali.

            Perkawinan Campuran
            Pengetian perkawinan campuran sebelum lahienya Undang-undang Noor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih berlaku aturan hukum atau pengertian-pengertian pada saat pemerintahan Hindia Belanda.
            Yang dimaksud perkawinan campuran pada zaman itu adalah antara lain :
Ø  Perkawinan antar golongan (yang berlainan golongan)
Ø  Perkawinan antar adat (yang berlainan adat)
Ø  Perkawinan antar agama (yang berlainan agama)
Ø  Perkawinan antar suku (yang berlainan suku)
Ø  Perkawinan antar warga negara (yang berlainan warga negara)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menggunakan istilah Perkawinan Campuran sebagaimana tertuang dalam pasal 57 merumuskan pengertian Perkawinan Campuran adalah sebagai beerikut :
Yang dimaksud dengan Perkainan Campuran dalam Undang-undang ini ialah Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karea perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Jadi berdasarkan Undang-undang Perkawinan bahwa yang dimaksud perkawinan campuran adalah perkawinan yang dilakukan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak adalah berkewarganegaraan Indonesia bukan berdasarkan perbedaan agama atau perbedaan lainnya seperti pengertian pada zaman Hindia Belanda sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan campuran mempunyai implikasi hukum bagi kehidupan keluarga yang menyangkut harta benda, keturunan, kewarganegaraan dan hukum kekeluargaan. Hal ini benar-benar harus dicermati karena ternyata banyak warga negara kita yang melakukan perkawinan dengan warga negara asing dihadapkan kepada masalah-masalah tersebut. Untuk itu merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan penerangan dan penuluhan hukum yang benar kepada masyarakat agar akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan campuran dapat diantisipasi secara baik serta tidak menimbulkan efek negative bagi keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga, ketika mereka berada di bawah hukum Indonesia, maka perundang-undangan yang diberlakukan tetapi ketika berada di luar Indonesia, undang-undang memberikan kebebasan kepada kedua mempelai untuk memilih hukum mana yang mereka akan gunakan, tetapi bagi WNI tidak boleh melanggar ketentuan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia dengan keharusan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang, dan untuk membuktikan syarat-syarat itu terpenuhi harus dinyatakan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana tercantum dalam pasal 60 ayat (1). Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) terpenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat terpenuhi.
Demikian juga perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia berlaku ketentuan yang sama, untuk lebih mempermudah mekanisme pencatatannya bagi mereka yang beragama Islam telah ada Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Luar Negeri RI Nomor : 589 Tahun 1999, Nomor : 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan WNI di Luar Negeri yang dijabarkan dengan Keputusan Bersama DIRJEN BIMAS ISLAM dan URUSAN HAJI dengan DIRJEN PROTOKOL dan KONSULER Nomor : 280/07 Tahun 1999, Nomor : D/447 Tahun 1999 tentang Petunjuk Tekns Pelaksanaan Perkawinan WNI di Luar Negeri, menyatakan bahwa pelaksanaan pencatatan dilakukan di KBRI atau Perwakilan Indonesia di Luar Negeri, dicatat oleh PPN atau Penghulu yang diangkat dan ditunjuk khusus untuk mencatat peristiwa nikah.
Dengan adanya SKB tersebut, maka bagi mereka yang akan melaksanakan perkawinan campuran (WNI dengan WNA) atau sesama WNI di luar Indonesia dapat dicatat oleh PPN atau Penghulu pada Perwakilan RI di luar negeri.
Perkawinan di luar Indonesia
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengaur perkawinan warga negara Indonesia yang berada di wilayah NKRI maupun WNI yang beraada di luar Indonesia. Baik perkawinan antara WNI dengan WNA maupun antara WNI dengan WNI d luar negeri. Ketentuan ini diatur dalam pasal 56 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut :
(1)   Perkawinan yang dialngsugkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2)   Dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
 Jadi perkawinan yang dilakukan di luar negeri itu dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum yang beerlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan Undang-undang Perkawinan.
Apabila perkawinan itu dilakukan menurut hukum yang berlaku dinegara dimana perkawinan itu dilangsungkan tetapi bagi WNI melanggar ketentuan Undang-undang Peerkawinan, maka perkawinannya itu dinyatakan tidak sah.
Bagi perkawinan yang dilakukan di laur negeri maka bagi suami isteri tersebut sesudah kembali ke Indonesia dalam jangka waktu satu tahun berkewajiban mendaftarkan surat perkawinannya di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka dan bagi yang beragama Islam di KUA Kecamatan.
Peranan Kantor Urusan Agama (KUA)
Kantor Urusan Agama Kecamatan mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembinan umat, karena letaknya paling depan dalam melayani umat Islam, sehingga segala urusan yang menyangkut kehidupan beragama umat Islam tertumpu di KUA. Memang tugas tersebut tidaklah ringan dan amat berat, sementara sarana dan prasarana KUA sampa saat ini belum memadai, perlu ada penguatan yang signifikan agar dapat memenuhi pelayanan yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Khusus dalam bidang pencatatan perkawinan KUA mempunyai tugas menandatangani Akta Nikah, Akta Rujuk, Buku Nikah (Buku Kutipan Akta Nikah) dan atau Kutipan Akta Rujuk.
Sementara itu di dalam KUA ada komponen penting dalam legalitas perkawinan yaitu Penghulu atau Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Penghulu berbeda dengan PPN sekalipun tugasnya tidak jauh beerbeda. Penghulu sebagai pejabat fungsional adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan, sementara Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah pejabatyang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristia nikah/rujuk, serta melakukan bimbingan perkawinan. Adanya perbedaan ini disebabkan adanya perubahan Pejabat Struktural ke Fungsional.
Seluruh doumen nikah/rujuk yag telah dicatat tersimpan rapi di KUA. Jika ada sesuatu persoalan hukum menyangkut bukti nikah, maka KUA harus dapat membuktikannya dengan baik. Oleh karena itu dokumen pencatatan di KUA harus benar-benar terjaga den teerpelihara dengan baik, disimpan pada tempat yang aman, tidak mudah semua orang dapat melihatnya kecuali atas seizin Kepala KUA.
Bahkan di era digital saat ini data-data nikah yang berada di KUA Kecamatan secara bertahap sudah mulai dikirimkan ke BIMAS ISLAM dan tersimpan dalam bentuk database berkat adanya sebuah aplikasi SIMKAH yang telah di Launching oleh DIRJEN BIMAS ISLAM pada tahun 2009, sehingga data-data tersebut akan lebih aman tersimpan dan terjaga keakuratannya.
Demikian pula dengan pencatatan perkawinan di luar negeri kantor pencatatannya berada di linkungan konsuler pada perwakilan RI di luar negeri atau KBRI yang sekaligus kalau kami mengatakan sebagai Kantor Urusan Agamanya luar negeri, karena disinilah tempat orang  Indonesia mendaftarkan pernikahannya di luar negeri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan yang dilakukan oleh kedua mempelai yang tundauk pda hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan. Penghlu atau Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada perwakilan RI di luar negeri yang diberi kewenangan dalam pencatatan perkawinan dapat melaksanakan pencatatan perkawinan campuran sejauh kedua mempelai telah menentukan pilihan hukum yaitu hukum Indonesia. Tetapi jika pilihan hukum itu hukum negara setempat maka bagi mempelai WNI tidak boleh melanggar ketentuan undang-undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia dan bagi mereka wajib membeeritahukan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama dalam waktu satu tahun.