Pencatatan perkawinan didasarkan pada undang-undang No. 22 Tahun 1946 yang diperbaharui oleh UU No. 32 Tahun 1954 dengan tambahan cakupan diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia dan hingga saat ini belum dilakukan perubahan lagi.
Aturan pelaksanaan pencatatan nikah hanya diatur dalam KMA dan PMA yang seringkali diubah dan disempurnakan, terakhir diterbitkan PMA No. 11 Tahun 2007 tanggal 25 Juni 2007.
Dalam PMA tersebut diejlaskan dalam padal 5 ayat (1) bahwa “ pemberitahuan kehendak menikah disampaikan kepada PPN di wilayah kecamatan tempat tinggal calon isteri. Seiring dengan itu pasal 17 ayat 1 menyatakan bahwa “ akad nikah dilaksanakan dihadapan PPN/ penghulu / Pembantu PPN dari wilayah tempat tinggal calon isteri. Sedangkan dalam ayat 2 dinyatakan bahwa “ apabila akad nikah akan dilaksanakan diluar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka calon isteri atau walinya harus memberitahukan kepada PPN wilayah tempat tinggal calon isteri untuk mendapatkan surat rekomendasi nikah.
Padahal dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa “ setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan”. Tanpa ada keharusan ditempat salahsatu pihak baik calon isteri, calon suami atau wali. Sepintas kita melihat bahwa esensi pasal 17 ayat(1) dan pasal 5 ayat(1) bertentangan dengan pasal 3 ayat(1) diatas sedangkan makna dari pasal 3 ayat(1) tersebut juga terakomodir dalam ayat (2) pasal 17.
Asas Domisili dan asas wilayah/Teritorial
Ada dua asas yang digunakan dalam peraturan ini. asas domisili yang menitikberatkan pada tempat tinggal pelaku perbuatan sedangkan asas wilayah atau teritorial dengan titikberatnya pada tempat terjadinya peristiwa akad dilaksanakan.
Pencatatan nikah menjadi hal yang krusial ketika menghadapi dua asas yang berbeda.
Pertama : azas domisili digunakan sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (1) bahwa akad nikah dilaksanakan di tempat tinggal calon isteri dengan asumsi bahwa tempat tinggal calon isteri juga merupakan tempat tinggal wali yang disyaratkan hadir dalam majlis akad nikah. Walau dalam prakteknya ada juga wali yang tidak bertempat tinggal sama karena alasan tertentu, misalnya karena telah bercerai.
Kedua : asas teritorial digunakan apabila akad nikah dilangsungkan diluar tempat kediaman calon isteri, baik itu di kediaman calon suami atau diluar tempat tinggal keduanya dengan terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dari PPN tempat tinggal calon isteri dengan kepastian wali bisa hadir pada saat akad berlangsung.
Selama ini yang dilaksanakan oleh petugas pencatat nikah dengan berasumsi bahwa domisili calon perempuan menjadi faktor yang dominan dalam pencatatan nikah maka dimanapun akad nikah dilaksanakan dicatat oleh petugas yang mewilayahi domisili calon isteri dan kebiasaan ini telah berjalan sekian lama.
Dengan adanya aturan yang merujuk pada asas teritorial bahwa pencatatan perkawinan dilaksanakan ditempat terjadinya peristiwa pernikahan menjadikan polemik baru melawan kebiasaan yang telah berlansung lama tersebut. Akan terjadi sengketa kewenangan antara KUA yang merasa calon pengantin dari wilayah domisili berhak untuk mencatat dan KUA yang merasa wilayah teritorialnya berhak pula mencatat perkawinan tersebut.
Menyikapi hal tersebut diatas, belum ada kepastian hukum demikian juga sanksi terhadap sengketa kewenangan pencatatan tersebut. cuma baru ada edaran Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.11.1/1/HM.01/942/2009 tanggal 29 Juni 2009 agar asas teritorial mengacu pada wilayah hukum digunakan dalam pencatatan perkawinan tanpa mencabut asas domisili pada PMA no11 tahun 2007 tersebut dan tidak juga menetapkan sanksi atas pelanggaran tersebut.
Atas munculnya polemik tersebut maka ada beberapa hal yang mesti dicermati
Pertama. Apakah sah pencatatan yang dilakukan oleh KUA yang mewilayahi domisili calon pengantin apabila peristiwa dilaksanakan diluar wilayah domisilinya yang menurut asas teritorial merupakan kewenangan KUA yang mewilayahi terjadinya peristiwa nikah.
Kedua. Dapatkah KUA yang mewilayahi tempat terjadinya peristiwa mensomasi petugas KUA yang melaksanakan akad nikah di luar wilayah teritorialnya serta membatalkan pencatatan yang dilaksanakannya (mengacu pada pasal 26 ayat (1) PP No. 9 tahun 1975) karena dianggap dilaksanakan di muka Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang.
Revisi PMA No. 11 Tahun 2007
Sebagai sumbang pemikiran mengatasi polemik tersebut kami mengusulkan agar dikembalikan pada bunyi pasal 3 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 dengan merevisi pasal 3 ayat (1) dan pasal 17 ayat (1) dengan bunyi bahwa Pemberitahuan kehendak menikah disanpaikan kepada PPN di wilayah tempat perkawinan akan dilansungkan. Sedangkan pasal 17 ayat (1) direvisi dengan “ akad nikah dilaksanakan di hadapan PPN atau Penghulu atau pembantu PPN di wilayah tempat perkawinan dilangsungkan, sedangkan dalam ayat (2) ditegaskan bahwa apabila akad nikah dilangsungkan diluar tempat kediaman calon isteri maka calon isteri atau walinya harus memberitahukan kepada PPN di wilayah tempat tinggal calon isteri untuk mendapat surat rekomendasi nikah.
Semoga menjadi bahan pemikiran bersama untuk dicarikan solusi yang tepat agar setiap institusi pencatatan nikah bekerja sesuai dengan aturan perundangan. wallahu a’lam bisshowab.
Aturan pelaksanaan pencatatan nikah hanya diatur dalam KMA dan PMA yang seringkali diubah dan disempurnakan, terakhir diterbitkan PMA No. 11 Tahun 2007 tanggal 25 Juni 2007.
Dalam PMA tersebut diejlaskan dalam padal 5 ayat (1) bahwa “ pemberitahuan kehendak menikah disampaikan kepada PPN di wilayah kecamatan tempat tinggal calon isteri. Seiring dengan itu pasal 17 ayat 1 menyatakan bahwa “ akad nikah dilaksanakan dihadapan PPN/ penghulu / Pembantu PPN dari wilayah tempat tinggal calon isteri. Sedangkan dalam ayat 2 dinyatakan bahwa “ apabila akad nikah akan dilaksanakan diluar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka calon isteri atau walinya harus memberitahukan kepada PPN wilayah tempat tinggal calon isteri untuk mendapatkan surat rekomendasi nikah.
Padahal dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa “ setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan”. Tanpa ada keharusan ditempat salahsatu pihak baik calon isteri, calon suami atau wali. Sepintas kita melihat bahwa esensi pasal 17 ayat(1) dan pasal 5 ayat(1) bertentangan dengan pasal 3 ayat(1) diatas sedangkan makna dari pasal 3 ayat(1) tersebut juga terakomodir dalam ayat (2) pasal 17.
Asas Domisili dan asas wilayah/Teritorial
Ada dua asas yang digunakan dalam peraturan ini. asas domisili yang menitikberatkan pada tempat tinggal pelaku perbuatan sedangkan asas wilayah atau teritorial dengan titikberatnya pada tempat terjadinya peristiwa akad dilaksanakan.
Pencatatan nikah menjadi hal yang krusial ketika menghadapi dua asas yang berbeda.
Pertama : azas domisili digunakan sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (1) bahwa akad nikah dilaksanakan di tempat tinggal calon isteri dengan asumsi bahwa tempat tinggal calon isteri juga merupakan tempat tinggal wali yang disyaratkan hadir dalam majlis akad nikah. Walau dalam prakteknya ada juga wali yang tidak bertempat tinggal sama karena alasan tertentu, misalnya karena telah bercerai.
Kedua : asas teritorial digunakan apabila akad nikah dilangsungkan diluar tempat kediaman calon isteri, baik itu di kediaman calon suami atau diluar tempat tinggal keduanya dengan terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dari PPN tempat tinggal calon isteri dengan kepastian wali bisa hadir pada saat akad berlangsung.
Selama ini yang dilaksanakan oleh petugas pencatat nikah dengan berasumsi bahwa domisili calon perempuan menjadi faktor yang dominan dalam pencatatan nikah maka dimanapun akad nikah dilaksanakan dicatat oleh petugas yang mewilayahi domisili calon isteri dan kebiasaan ini telah berjalan sekian lama.
Dengan adanya aturan yang merujuk pada asas teritorial bahwa pencatatan perkawinan dilaksanakan ditempat terjadinya peristiwa pernikahan menjadikan polemik baru melawan kebiasaan yang telah berlansung lama tersebut. Akan terjadi sengketa kewenangan antara KUA yang merasa calon pengantin dari wilayah domisili berhak untuk mencatat dan KUA yang merasa wilayah teritorialnya berhak pula mencatat perkawinan tersebut.
Menyikapi hal tersebut diatas, belum ada kepastian hukum demikian juga sanksi terhadap sengketa kewenangan pencatatan tersebut. cuma baru ada edaran Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.11.1/1/HM.01/942/2009 tanggal 29 Juni 2009 agar asas teritorial mengacu pada wilayah hukum digunakan dalam pencatatan perkawinan tanpa mencabut asas domisili pada PMA no11 tahun 2007 tersebut dan tidak juga menetapkan sanksi atas pelanggaran tersebut.
Atas munculnya polemik tersebut maka ada beberapa hal yang mesti dicermati
Pertama. Apakah sah pencatatan yang dilakukan oleh KUA yang mewilayahi domisili calon pengantin apabila peristiwa dilaksanakan diluar wilayah domisilinya yang menurut asas teritorial merupakan kewenangan KUA yang mewilayahi terjadinya peristiwa nikah.
Kedua. Dapatkah KUA yang mewilayahi tempat terjadinya peristiwa mensomasi petugas KUA yang melaksanakan akad nikah di luar wilayah teritorialnya serta membatalkan pencatatan yang dilaksanakannya (mengacu pada pasal 26 ayat (1) PP No. 9 tahun 1975) karena dianggap dilaksanakan di muka Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang.
Revisi PMA No. 11 Tahun 2007
Sebagai sumbang pemikiran mengatasi polemik tersebut kami mengusulkan agar dikembalikan pada bunyi pasal 3 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 dengan merevisi pasal 3 ayat (1) dan pasal 17 ayat (1) dengan bunyi bahwa Pemberitahuan kehendak menikah disanpaikan kepada PPN di wilayah tempat perkawinan akan dilansungkan. Sedangkan pasal 17 ayat (1) direvisi dengan “ akad nikah dilaksanakan di hadapan PPN atau Penghulu atau pembantu PPN di wilayah tempat perkawinan dilangsungkan, sedangkan dalam ayat (2) ditegaskan bahwa apabila akad nikah dilangsungkan diluar tempat kediaman calon isteri maka calon isteri atau walinya harus memberitahukan kepada PPN di wilayah tempat tinggal calon isteri untuk mendapat surat rekomendasi nikah.
Semoga menjadi bahan pemikiran bersama untuk dicarikan solusi yang tepat agar setiap institusi pencatatan nikah bekerja sesuai dengan aturan perundangan. wallahu a’lam bisshowab.
0 komentar:
Posting Komentar