Pembangunan keluarga sejahtera diarahkan kepada terwujudnya kehidupan keluarga yang sakinah dengan ketahanan yang andal sebagai wahana persemaian nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya bangsa sebagai inti kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agar mampu mendukung pembangunan nasional. Upaya ini diselenggarakan melalui peningkatan pemasyarakatan nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlaqul karimah melalui pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat dan pendidikan formal. Tantangan yang dihadapi adalah masih kurangnya kedalaman pemahaman dan pengamalan ajaran dan nilai-nilai agama Islam, yang ditandai oleh kurang mantapnya kehidupan beragama dalam rangka mengukuhnya landasan spiritual dan etika bagi pembangunan serta landasan persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga sejahtera perlu diawali dengan adanya perkawinan yang syah sebagaimana yang dimaksud BAB. I pasal 1 Undang-undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Selanjutnya dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) menyebutkan : “(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Sesuai dengan ketentuan Undang-undang tersebut, maka setiap perkawinan harus dicatatkan. Adapun untuk pencatatannya untuk yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sesuai dengan Undang-undang Nomor : 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk junc to BAB. II pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor : 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut selain agama Islam oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah tersebut pada pasal 2 ayat (2).
Namun pada kenyataannya sekarang masih banyak kita temui adanya perkawinan yang tidak dicatatkan atau lebih dikenal dengan Nikah Sirri atau Nikah di bawah tangan. Bahkan ada yang lebih parah lagi mereka mendapatkan Kutipan Akta Nikah yang Aspal (asli tapi) dengan tidak mempedulikan ajaran yang sebenarnya dari agama masing-masing, utamanya agama Islam. Padahal sesungguhnya dalam ajaran Islam disebutkan bahwa dalam melakukan sebuah akad perjanjian harus dilakukan pencatatan dengan dihadiri oleh dua orang saksi, yang dimaksudkan apabila salah satu dari mereka itu lupa akan ada yang mengingatkannya. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ................ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).” (QS. Al-Baqarah, 2 : 282)
Dalam ayat tersebut disebutkan bahwasanya ketika bermu’amalah dalam jangka waktu yang terbatas saja seperti hutang piutang diperintahkan untuk menuliskannya dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Apalagi perkawinan adalah mu’amalah yang waktunya tidak terbatas, bahkan sampai seumur hidup maka pencatatannya sangatlah penting bagi kelangsungan kehidupan keluarga selanjutnya agar mempunyai bukti autentik dan ada kepastian hukum.
Dalam salah satu rukunnya, perkawinan disebutkan juga wajib dihadiri oleh dua orang saksi. Ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya sebuah perkawinan. Karena akibat yang ditimbulkan dari sebuah perkawinan itu tidak hanya sebatas pada orang yang melaksanakan saja. Akan tetapi akibatnya akan lebih panjang sampai kepada anak cucu dan segala sesuatu yang timbul akibat adanya sebuah perkawinan tersebut, termasuk nantinya sampai kepada waris.
Bahkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab XIV pasal 99.a menyatakan “Anak yang syah adalah anak yang dilahirkan dan atau akibat perkawinan yang syah.” dan pada pasal 100 menyatakan : ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Dengan demikian anak yang terlahir di luar perkawinan yang syah jika itu perempuan maka tidak akan mendapat perwalian, karena dianggap tidak memiliki wali nasab dan hanya bisa dinikahkan dengan wali Hakim.
Kenyataan ini tentu sangat pahit bagi seorang anak. Jangankan anak perempuan, jika anak itupun laki-laki maka sesungguhnya setiap anak berhak atas status yang jelas. Setidaknya dengan status yang jelas seorang anak dapat mengetahui siapa orang tuanya yang sebenarnya.
Tanpa adanya status yang jelas selain anak mengalami gejolak batin yang sangat kuat akibat ketidak jelasan asal-usulnya, diapun tidak jarang menghadapi kecaman sosial yang sangat menyakitkan. Secara Psikis anak semacam ini akan mengalami gangguan yang luar biasa. Anak terpaksa mendapatkan stereotype yang tidak menyenangkan dengan sebutan anak haram, anak jadah atau anak zina. Kondisi yang tidak menyenangkan ini akan sangat mempengaruhi perkembangan mental dan kepribadiannya.
Oleh karena itu sangatlah penting bagi orang tua untuk memperhatikan keabsahan perkawinannya, bukan saja secara syar’i sudah tercukupi syarat dan rukunnya tetapi juga secara administrasi pemerintahan perlu diperhatikan, agar benar-benar tercatat dan diakui secara hukum. Karena bukannya secara administrasi pemerintahan itu untuk mempersulit proses perkawinan tetapi justru untuk melaksanakan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat : 282 tersebut dan untuk mendapatkan bukti autentik dari pelaksanaan perkawinan tersebut.
Keabsahan ini tentu akan menjadi modal awal bagi seorang anak untuk mendapatkan status yang jelas dan menghindari kecaman sosial yang mengusik kehidupannya. Sehingga seorang anak dapat menata dirinya dengan baik, membentuk kepribadiannya secara leluasa serta menumbuhkan sikap mental yang positif dalam menapaki kehidupannya ke depan.
Namun sayangnya sebagian besar umat Islam tidak memperhatikan firman Allah tersebut, dan hanya memahami bahwa ayat tersebut hanya berlaku untuk masalah hutang-piutang. Padahal menurut hemat penulis ayat tersebut bukan hanya untuk hutang-piutang namun dapat diterapkan pula pada perkawinan dan mu’amalah yang lain yang memerlukan adanya suatu akad perjanjian. Betapa tidak, memang pada ayat tersebut hanya disebutkan hutang-piutang, tetapi secara rasio aja akibat dari hutang-piutang tidak akan lebih jauh atau berat daripada akibat yang ditimbulkan oleh karena adanya sebuah perkawinan.
Perkawinan untuk selama-lamanya. Sekalipun tidak melarang perceraian, Islam menutup segala pintu yang mungkin menimbulkan perceraian dan mengharamkan perkawinan untuk selama waktu tertentu saja. Oleh karena itu marilah kita bersama-sama merenung sejenak, coba kita bandingkan akibat yang akan ditimbulkan oleh dua peristiwa tersebut yaitu antara hutang-piutang dengan perkawinan, jauh lebih penting mana antara keduanya. Untuk selanjutnya agar kita dapat menyadari dengan sepenuh hati bahwa Pencatatan Perkawinan tentunya akan sangat bermanfaat bagi kehidupan kita bersama, bukan akan menyengsarakan atau mebikin sulit perjalanan hidup kita selanjutnya.
Semoga tulisan yang sedikit ini dapat menjadi bahan kajian kita bersama untuk bersama-sama menciptakan keluarga yang sakinah yang sangat didambakan oleh segenap umat manusia dalam membina rumah tangga, dan semoga dapat menggugah hati orang-orang yang masih senang melaksanakan Pernikahan dengan tidak dicatat atau Nikah Sirri alias Nikah di bawah Tangan. Amin
0 komentar:
Posting Komentar