PENGHULU DIPERSIMPANGAN

Hidup harus  berubah, siapa yang tidak bisa mengikuti perubahan akan ketinggalan”’ suatu ungkapan yang sering didengar , tetapi pertanyaan lebih lanjut adalah berubah ke mana ? ke arah kemajuan atau kemunduran ? atau bahkan jalan di tempat, yang penting ada perubahan.Apakah seperti ini yang terjadi pada nasib penghulu (khususnya) dan pegawai pencatat nikah (umumnya) ?

Dari awal, ada keinginan yang sangat besar dari pembuat kebijakan terutama di lingkungan Kementerian Agama untuk menjadikan Pegawai pencatat Nikah (PPN) atau Penghulu sebagai sebuah pekerjaan khusus yang harus ditangani  oleh orang yang khusus pula.Orang yang khusus itu harus profesional dan proporsinal.Profesional dalam bidang keilmuan, dengan tingkat pendidikan minimum sarjana (SI), harus sudah mengikuti diklat, mempunyai pengalaman dalam bidang kepenghuluan dan lainnya.Proporsional dalam penempatan, diutamakan mereka  yang memiliki basik ilmu agama, bahkan saat nurul amri  mendaftar untuk menjadi calon PPN disyaratkan tinggi badan minimum 160 cm, tidak pakai kaca mata, yang barangkali untuk menjadi PPN atau penghulu yang profesional kedua hal ini tidak begitu signifikan.


Untuk mewujudkan ini maka lahirlah berbagai keputusan dan peraturan tentang pencatatan pernikahan yang mengatur PPN dan penghulu serta serta tugas, fungsi dan tanggung jawabnya.Keputusan dan peraturan tersebut silih berganti, hingga yang terakhir :
  1. Peraturan bersama Menteri Agama dan kepala kepegawaian  Negara, Peraturan menteri nomor 20 tahun 2005 dan nomor 14 A tahun 2005
  2. Peraturan menteri pendayagunaan Aparatur Negara nomor, Per/62/M.PAN/6/2005
  3. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia nomor II tahun 2007

Dua peraturan pertama menfokuskan pada jabatan fungsional penghulu dan angka kreditnya sedangkan peraturan yang terakhir tentang pencatatn nikah.Ada hal yang menarik yang perlu dicermati dari ketiga peraturan ini. Pertama, dalam peraturan bersama dan pearturan menteri Pendayagunaan aparatur Negara, sangat jelas dinyatakan  dalam BAB I tentang ketentuan umum pasal I, bahwa penghulu adalah pegawai negeri sipil sebagai pencatat nikah (PPN) yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh menteri agama…….dst.

Konsekwensi dari penghulu sebagai PPN yang merupakan jabatan fungsional, maka dibagilah jabatan penghulu tersebut dalam tiga bagian dengan perincian :

   1. Penghulu pertama (IIIa dan III/b)
   2. Penghulu Muda (III/c dan III/d)
   3. Penghulu Madya (IV/a sd IV c)

Sebagaimana yang terdapat dalam BAB IV tentang jenjang jabatan dan pangkat pasal 7.Peraturan Men PAN.Dalam uraian ini yang perlu digaris bawahi bahwa penghulu adalah PPN.Kedua, sedangkan dalam peraturan Menteri Agama nomor II tahun 2007 dinyatakan bahwa  Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dijabat oleh Kepala KUA, dengan kata lain PPN adalah kepala KUA.Perlu diketahui, dalam PMA nomor II tahun 2007, dinyatakan, bahwa dengan berlakunya PMA ini,  KMA nomor 477 tahun 2004 dinyatakan tidak berlaku.Pertanyaan yang cukup penting diajukan, apakah dengan lahirnya PMA II tahun 2007 ini juga membatalkan Peraturan bersama Menag dan kepala BKN serta peraturan Menpan ? jawabannya tentu tidak.Sehingga kalau dibolehkan dengan memakai pernyataan ilmu logika akan seperti ini,” kalau A adalah B, sedangakan B adalah C, maka A dan C penuh tanda tanya.Jika digabungkan anatara peraturan bersama , peraturan Menpan dan PMA nomor 11 tahun 2007 tentang penghulu, PPN dan kepala KUA akan begini, kalau penghulu sebagai (adalah) PPN, sedangkan PPN adalah kepala KUA, maka Penghulu dan Kepala KUA ? disini terlihat ada dualisme dalam payung hukum, disatu sisi penghulu adalah PPN (pearaturan bersama dan peraturan Menpan) disisi lain PPN adalah kepala KUA (PMA 11 tahun 2000) .Padahal perlu diketahui bahwa penerbitan peraturan Bersama Menag dan Kepala BKN merupakan tanggapan dari lahirnya peraturan menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/62/M.PAN/6/2006. (lihat kata pengantar Direktur URAIS dan pembinaan Syari’ah dalam, juklak jabatan Fungsional Penghulu dan angka kreditnya).Sebagai petugas lapangan, penghulu ibarat berada di persimpangan, mana yang menjadi pegangan, apakah penghulu sebagai PPN dengan rincian tugas pokok yang begitu banyak, ataukah penghulu yang merupakan jabatan fungsional dengan tugas, tanggung jawab dan wewenang hanya (lebih terbatas dari yang ada dalam peraturan Menpan) mengawasi NR (nikah/rujuk) dan kegiatan kepenghuluan ? (PMA no 11 tahun 2007 BAB I pasal; I ayat 3).

Dari penjelasan yang penulis terima, walau tidak tegas, bahwa kepala KUA dengan lahirnya PMA no 11 tahun 2007 ini tidak lagi sebagai jabatan fungsional tetapi kembali seperti semula yakni pejabat strukstural, dengan tugas melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan, dan pencatatan peristiwa NR, pendaftaran cerai talak, gugat dan melakukan bimbingan perkawinan ( PMA 11 tahun 2007 BAB II pasal 2 ayat 1 ).Timbul suatu pertanyaan, kenapa penghulu, katakanlah ”Membantu” adalah jabatan fungsional, sementara Kepala KUA yang mempunyai tugas pokok dalam bidang NTCR malah struktural ? kemudian bagaimana dengan tugas-tugas yang diberikan kepada penghulu melalui Peraturan Menpan diatas ? tidakkah dalam pelaksanaannya terjadi tumpang tindih dengan tugas kepala KUA yang berkaitan dengan NTCR ? sehingga, bisa jadi ini bukan bukanlah keputusan  atau peraturan yang terakghir, sepertinya akan ada keputusan-keputusan dan peraturan-peraturan yang lain.Kita memang mengikuti perubahan , tetapi perubahan kearah kemajuan, jalan ditempat atau bahkan kearah kemunduran, diserahkan kepada para penghulu dan ka KUA untuk menilainya.

Hemat penulis, usulan untuk membentuk semacam tim dalam menanggapi lahirnya Pma ini terutama mereka yang terlibat langsung, dapat dipertimbangkan , sebab apakah dengan lahirnya PMA ini betul-betul dapat memenuhi tuntutan perkembangan  dan tata pemerintahan serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana yang menjadi pertimbangan dari lahirnya   terutama mereka yang terlibat langsung, dapat dipertimbangkan, sebab apakah dengan lahirnya PMA ini betul-betul dapat memenuhi tuntutan perkembangan danb tata pemerintahan serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana yang menjadi pertimbangan dari lahirnya PMA nomor 11 tahun 2007 ini? Wallahu A’lam bisshawab.

0 komentar: