Maraknya tindak pidana korupsi, penggunaan obat-obat terlarang dan meningkatnya berita kriminal di media massa menjadi santapan sehari-hari. Bencana alam pun seakan tidak bisa berhenti. Dan kejadian yang baru saja terjadi adalah terjadinya kekerasan yang mengatasnamakan agama sehingga menimbulkan korban jiwa, pengrusakan tempat ibadah sebagai luapan emosi sekelompok orang dan penistaan terhadap suatu agama menjadi berita yang paling mengejutkan, karena hal tersebut sangat sensitif.
Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa orang yang mengaku beragama, tetapi mampu melakukan kejahatan yang tidak diajarkan dalam agama? Rahmatan lil ‘Alamin yang selama ini menjadi pegangan kaum Islam dalam membangun komunikasi lintas agama menjadi kalimat yang perlu di urai dan di bahas sehingga anggapan bahwa agama Islam adalah agama teroris, agama yang mengajarkan tentang kekerasan, pemaksaan kehendak dan banyak stereotip negatife lainnya dapat di minimalisir.
Agama Islam jika di pahami penganutnya secara integral akan menjadi motifasi, membimbing dan mengarahkan seluruh perilaku, cara pikir dan perasaan manusia, juga dapat menjadi filter terhadap perubahan nilai yang terjadi. Agama yang di peluk dan dihayati hanya dengan nilai “nominal” yang rendah membuat manusia kurang atau bahkan tidak memiliki pengaruh dalam berfikir dan ber”rasa” dalam perilaku manusia.
Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup umat Islam memberikan banyak jawaban terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia.
Secara historis, kalau melihat perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini, umat Islam mengalami kemerosotan dan kekalahan dalam aspek kehidupan. Ajaran Islam yang dipahami secara sempit terbatas pada dimensi ritual dan mistikal, sementara dimensi ideologikal, intelektual dan sosial menjadi artifisial, nilai pinggiran (peripheral values).
Penekanan pada dimensi ritual menyebabkan tidak mempunyai kepekaan sosial, kurang manusiawi. Kebaikan atau kemusliman seseorang lebih banyak diukur dari kekhusukan dalam menjalankan aktifitas ritual. Sementara itu penekanan pada dimensi mistikal menyebabkan tumbuhnya sikap normatif dan eksklusif, suburnya etika individual dan melemahnya etika sosial, sehingga orang cenderung mencari pengalaman agama yang bersifat individual melalui wirid, suluk, berkhalwat untuk bertemu dan berdialog secara individual dengan tuhan.
Umat Islam sebenarnya diajari bersifat tengah-tengah dan menjauhi watak-watak yang ekstrim. Salah satu sikap tengah-tengah yang menonjol dalam ajaran Islam adalah dalam hal pandangan dan tujuan hidup mausia. Walaupun Islam mengarahkan tujuan dan pandangan hidup umatnya kearah alam akhirat, namun Islam juga mewajibkan umatnya untuk tidak melupakan perjuangan untuk membina kehidupan dunianya secara layak dan jaya. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an s. Al-Qashash, 28 : 77
“Dan carilah pada apa yang di anugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana allah telah berbuat kebaikan (dimuka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Ayat tersebut menegaskan bahwa walaupun tujuan hidup harus diarahkan kealam akhirat, namun setiap muslim wajib bekerja keras untuk merebut dan menikmati rezeki Tuhan yang telah di halalkan untuk umat-Nya, asal di peroleh melalui jalan halal. Yakni, berlomba dengan cara yang jujur dalam kebaikan (fastabiquu al-khairat). Kenikmatan keduniaan adalah hak yang harus di perebutkan dan diperjuangkan. Islam tidak mengharamkan kedudukan dan kenikmatan dunia, bahkan memandang harta kekayaan dan pangkat atau kedudukan sebagai sarana ibadah yang paling mulia. Dari situ, maka inti ajaran Islam terpusat pada ajaran Islam dan amal shaleh.
Hal ini dimaksudkan agar umatnya aktif menatap kehidupan dunianya dengan iman dan sikap positif. Hidup rahbaniah yang hanya menggantungkan kehidupan keakhiratan dan melupakan dunia adalah tercela, tidak dibenarkan oleh Islam. Sebaliknya, mengutamakan kehidupan dunia dan berpandangan materialistis, sekuleris seperti kehidupan Fir’aun juga dicela dan diharamkan dalam Islam. Bahkan dalam hadits, Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari, memerintahkan sebagai berikut:
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dn bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok pagi.”
Dalam dunia sufi, ada dua hal yang menjadi ketidakseimbangan dalam mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, Memahami ajaran Islam tidak secara komprehensif; mengakibatkan hilangnya rasa takut akan ganjaran yang di berikan oleh Allah sebagai balasan dari perbuatan yang di lakukan, tidak patuh kepada perintah-perintah dan larangan Tuhan, yang merupakan peraturan-peraturan untuk mengadakan perdamaian antara manusia satu sama lain.
kedua, Terlalu mencintai diri sendiri (egoisme Individual). Akibatnya timbul beberapa keadaan, seperti mencintai harta benda dan kekayaan, mencintai makan minum yang berlebih-lebihan, mencintai rumah yang besar dan megah, mencintai kedudukan yang tinggi dan berpengaruh, mencintai nama yang harum dan masyhur, yang akhirnya membawa kepada kecintaan duniawi yang berlebihan dan tidak terkontrol.
Dengan keadaan tidak mengindahkan peraturan-peraturan Tuhan mengenai etika bergaul dengan sesama Islam maupun non Islam dan akibat mencintai diri sendiri yang berlebih-lebihan, maka timbullah pertentangan kepentingan antara sesama manusia dengan manusia, antara golongan dengan golongan, yang dapat merusak persaudaraan serta perdamaian dalam pergaulan.
Dan untuk mencari solusi memperbaiki keadaan tersebut tidak dapat dengan sempurna di cari dalam kehidupan lahir, karena kepatuhan lahir itu hanya merupakan gambaran atau akibat dari kehidupan manusia yang digerakkan oleh tiga pokok, yaitu hawa nafsu (syahwat), akal (‘aqal), dan kegiatan (ghadhab). Jika ketiga perkara ini seimbang kekuatannya, maka hidup manusia menjadi normal, tetapi jika salah satu melebihi yang lain maka hidup manusia menjadi abnormal.
Jika demikian persoalannya, maka peran agama sangat dibutuhkan dalam mencari strategi pengendalian diri yang mampu mengarahkan manusia agar dapat meminimalisir dampak negatif dari berbagai aspek kehidupan manusia. Sehingga agama Islam betul-betul bisa menjadi rahmatan lil’alamin bagi semua umat manusia
0 komentar:
Posting Komentar